Keputusan tersebut diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Belopa dengan nomor perkara 16/Pdt.G/2024/PN Blp, dan disahkan melalui e-court pada Senin, 11 November 2024. Namun, putusan ini masih bersifat belum berkekuatan hukum tetap (belum inkracht), sehingga pihak yang merasa dirugikan masih memiliki kesempatan untuk mengajukan banding dalam waktu 14 hari.
“Aswandi, Humas PN Belopa, menegaskan bahwa setiap pihak yang keberatan terhadap keputusan ini dapat mengajukan banding dan menghadirkan bukti-bukti baru di Pengadilan Tinggi Makassar,” ujarnya.
Kuasa hukum Masmindo mengapresiasi keputusan Majelis Hakim yang dianggap telah bertindak objektif dengan menjadikan bukti-bukti dan fakta persidangan sebagai dasar pertimbangan, tanpa terpengaruh tekanan dari pihak luar.
“Sebagai warga negara yang baik, kita harus menghormati setiap proses hukum yang berlangsung serta keputusan yang diambil,” ujar perwakilan kuasa hukum Masmindo.
Namun, pihak Masmindo juga menyayangkan adanya aksi pengerahan massa yang dilakukan oleh pihak Edy Lembangan, yang dinilai sebagai upaya untuk memengaruhi putusan pengadilan.
Sidang Kedua: Saksi dan Ahli Turut Dihadirkan
Sidang kedua dalam perkara ini telah digelar pada Kamis, 3 Oktober 2024. Pihak Masmindo menghadirkan sejumlah saksi, termasuk Athair Assegaf dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Luwu, serta ahli agraria dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Kahar Lahae, S.H., M.Hum.
Athair Assegaf menjelaskan bahwa pihak Masmindo memiliki itikad baik untuk memberikan tali asih atau biaya relokasi bagi makam yang terdampak proyek. “Kami menemukan sekitar 6 hingga 7 makam di area Ground Reference Value (GRV). Namun, makam-makam tersebut kurang terurus dan sebagian tertutup rumput,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pihaknya belum dapat memastikan siapa ahli waris dari makam tersebut, apakah benar milik tergugat atau pihak lain.
Ahli Agraria: Tidak Ada Tanah Adat Baru Pasca UUPA
Dalam kesaksiannya, Dr. Kahar Lahae menanggapi klaim tanah adat yang diajukan Edy Lembangan. Menurutnya, di Indonesia terdapat tiga jenis penguasaan tanah: tanah hak, tanah negara, dan tanah ulayat. Namun, setelah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, tidak ada lagi pengakuan terhadap tanah adat baru.
“Sejak berlakunya UUPA, tidak memungkinkan adanya pengakuan tanah adat baru. Hal ini karena pengaturan tanah adat sudah dikodifikasi dalam aturan agraria nasional,” jelas Dr. Kahar.
Putusan ini menjadi babak baru dalam sengketa tanah antara PT Masmindo Dwi Area dan Edy Lembangan. Dengan belum inkracht-nya putusan, masih terbuka peluang bagi Edy untuk melanjutkan perjuangannya di tingkat banding.
Masmindo berharap semua pihak dapat menghormati proses hukum yang berjalan, demi tercapainya keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak terkait.(Tim/Red)
Posting Komentar